Sabtu, 10 Desember 2011

Pemain Timnas Bukan Kewenangan PSSI?

KOMPAS.com/BANAR FIL ARDHI
Pemain timnas Indonesia.
MALANG, KOMPAS.com - Penentuan pemain tim nasional dinilai bukan menjadi kewenangan PSSI. Presiden Kehormatan Arema Indonesia, Rendra Kresna, menilai penentuan merupakan kewenangan pelatih.

"PSSI hanya sebagai wadah dan organisasi dalam memajukan prestasi Indonesia dalam bidang sepak bola, sehingga yang berhak menentukan pemain untuk memperkuat Timnas adalah pelatih," katanya di Malang, Sabtu (10/12/2011).

Pelatih yang berwenang memilih, lanjutnya, juga harus mempertimbangkan penilaian masyarakat terhadap kualitas pemain. Menurutnya, kualitas pemain harus lebih dijunjung tinggi daripada pertimbangan bermain di Indonesian Premier League (IPL) atau Indonesia Super League (ISL).

Menurut Rendra, pemain timnas yang saat ini berlaga di ISL juga tidak akan serta merta pindah klub di IPL hanya karena ingin bermain di timnas sesuai dengan keinginan PSSI. Mereka, lanjutnya, juga menikmati bermain di ISL.

Rendra menambahkan, PSSI juga harus melihat bahwa sebagian besar pemain timnas berlaga di ISL, antara lain Bambang Pamungkas, Christian Gonzales, Firman Utina, Diego Michiels, Yongki Aribowo, Achmad Bustomi, Zulkifli Syukur, Titus Bonai, Patrich Wanggai dan Egi Melgiansyah. Sementara yang berlaga di IPL, antara lain Kurnia Meiga, Irfan Bachdim dan Andik Vermansyah.

Oleh karena itu, Rendra meminta PSSI segera berbenah diri. Pasalnya, dia menilai bahwa persoalan seriusnya terletak di internal PSSI sendiri. Ketidakjelasan kebijakan dan sikap membuat arah pembinaan timnas juga menjadi tak jelas.

"Saya rasa tidak ada pengaruhnya bagi pemain, kalau PSSI menentukan kebijakan tersebut. Apalagi kompetisi LSI sudah bergulir dan sesuai hasil kongres PSSI di Bali," tandasnya.

Pelarangan pemain liga lain juga pernah diterapkan di masa kepemimpinan Nurdin Halid. Kala itu, pengurus melarang pemain yang berlaga di IPL untuk memperkuat timnas. Kebijakan ini pun dinilai pengurus baru di bawah kepemimpinan Djohar Arifin Husin sebagai kebijakan diskriminatif. Namun, kini kebijakan semacam itu kembali diterapkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar